Menunggu






Mungkin kami bertemu saat matahari berada di puncak kala itu. Di persimpang jalan, di gedung kotak bercat merah muda, di ruang persegi yang disebut sebuah kelas.

Dan ,

entah sejak kapan, tiba-tiba ada namanya yang bermuara di dasar sini; relung ini.

Masih kuingat jelas kemarin kami masih berbagi cerita. Dia suka bercerita, sedang aku begitu suka mendengarnya. Barangkali itulah mengapa kami bisa begitu akrab.

Ku ketuk kecil-kecil layar ponselku. Kubiarkan mataku terbenam pada sebuah potret gambar dirinya yang sedang bersamaku di pantai ini. Di sore seperti ini,  terduduk di ujung jembatan buntu sambil menatap mozaik kilauan air laut seperti ini.  Kugoreskan senyum tipis meski ada rasa menyayat perih saat menatap lamat-lamat siluet wajahnya.

Barangkali mungkin memang aku terlalu terpikat dengannya. Bagaimana tidak? Semua yang ada pada dirinya aku sukai. Aku suka bagaimana cara angin memainkan rambutnya. Hingga membuat ia bersunggut kemayu merapikannya. Aku suka bagaimana sayup matanya mengantuk di saat matahari tepat berada di ubun-ubun panasnya. Aku suka bagaimana polos matanya pamer sesaat setelah kupuji jam tangannya. Dan aku suka bagaimana kebodohannya itu sanggup menyentuh dan meluluhkan hatiku.

Bukan, dia bukan cinta pada pandangan pertamaku. Sejak kami bertemu bagiku dia sama seperti yang lain. Sejak pertama bertegur sapa dia juga masih sama seperti yang lain. Sejak kami mulai akrab dia masih tetap seperti yang lain. Namun sekarang semuanya begitu berbeda.

Masih dalam kebisuan kupandangi langit sore yang mulai kuning kemerahan. Manis sekali. Ku benarkan posisi dudukku. Mencoba mengingat-ingat alasanku ada di sini sekarang. Pelan-pelan aku mulai merapikan lemari yang berisi memori. Ternyata dia terlalu banyak memberiku kenangan.

 “Apa yang kau pikirkan?” ujarnya dengan suara berat yang seolah khawatir apa yang akan kukatakan, tentang kami.

Aku tersenyum tipis dan menggeleng pelan setelah melihat ada pantulan rona kekhawatiran matanya.

Entahlah,  tiba-tiba aku merasa asing dengan pantai ini. Pantai yang biasa kami jamah saat ada jeda waktu untuk berdua. Bisikku tanpa kata.

Angin malam mulai merajuk. Dingin terasa menampar saat angin menerpa-nerpa. Dia masih saja diam menatapku sengaja.

Aku bukanlah seorang petualang. Namun matanya adalah samudera yang memaksaku untuk menyelaminya. Aku hanya seorang pengelana tanpa arah lalu gema suaranya yang menuntunku untuk bermuara didasar sana; relungnya.

“Keraguan memang ada. Namun aku percaya, jarak tak akan bisa pisahkan kita. Keraguan itu sendiri yang bisa pisahkan kita ana” cercanya pelan.

Aku terdiam. Lama kami saling menatap, berharap bisa saling menghilangkan keraguan dan luka yang mulai menjalar. Ada jeda yang memaksaku untuk tetap diam. Seandainya waktu bisa dihentikan. Ingin rasanya membekukan momen ini, seperti ini selamanya.

Dia memang tak punya hak, barangkali malah tak punya malu memintaku menunggu meski banyak cinta lain yang mencoba mendekat. Namun, saat kucoba mencari jawaban di sorot matanya, bukan semu yang kudapati.

Hatiku berkata iya,kepalaku berkata iya dan mulutku berkata,

“Aku juga percaya, dan aku akan menunggumu” ujarku yang akhirnya meloloskan suara.

Kami berdua tersenyum mengambang. Tak peduli dengan langit malam yang terlihat semakin muram.

Momen itulah yang masih begitu segar kuingat tentangnya. 

Dia mampu membuatku mengerti ketika dua hati saling tulus mencinta, mereka akan selalu menemukan cara untuk selalu bertahan, tak peduli betapa sulitnya tuk selalu bersama. Dia sanggup membuatku percaya jauhnya dimensi tak membuat jiwa menjauh, akan ada dua hati yang selalu berusaha tuk menjadi satu dan hanya sang waktu sendiri yang dapat pisahkan mereka. 

Dia bukan penggumbar cinta. Dia membiasakanku berdiri sendiri. Cinta utuh dan tenang yang dia beri. Berkat dirinya aku merasa tangguh. Mampu menahan rasa kuning, merah, kelabu, dan kadang membiru yang sudah dia tanam dihatiku.

Bagiku, tak ada yang seperti dirinya. Senyum diwajahnya. Sesuatu yang menggelitik dikedua bola matanya. Hangatnya saat bercengkerama dengan dirinya selalu membuatku berpikir bagaimana cara menghentikan waktu agar selalu bisa bersamanya? Ah lagi-lagi.

Disini aku bertahan. Mundur dan berdiam diri menahan jangkauan, menunggu dirinya untuk mengulurkan tangan. Berusaha menutup hati rapat - rapat hingga tak ada sedikit celah untuk orang lain masuki. Menjaganya agar hanya ada satu nama yang terukir didalamnya.

Namanya,

Kami sama-sama rindu, namun hanya bisa menunggu. Mungkin aku terlalu sering berharap. Hmm iya, aku harap semoga kelak di suatu masa kami bisa dipertemukan dengan masih menyimpan perasaan yang sama.

“Kekasihku, hari ini rasa rinduku lebih besar dari biasanya. Jangan berjalan terlalu jauh. Aku masih menunggumu” gumamku dengan linang.

Senja telah berganti malam. Rembulan telah tepat membentuk lingkaran dan tanpa titik-titik awan yang menghalangi. Rasanya ingin ku menari-nari di bawah rinai temaram bintang. Sayang, sebentar lagi aku harus segera pulang.


Menunggu itu lama. Namanya juga menunggu.

Komentar

  1. Very nice story. Menyentuh sekali (y)

    Semua tentang penantian. Penantian yg tak tau dimana ujungnya, dan kapan berakhir...

    BalasHapus
  2. Cobalah untuk menemuinya dalam Doa, dan mohon kabulkan penantianmu,..
    nice,, kep writing... ")

    salam langitsenja :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung :)
Mari tinggalkan jejak disini..