Ingin Pulang, Cepat Pulang

At Student Center Fakultas teknik Telkom University, Sekretariat UKM Djawa Lt. 1 J107.

Selamat  pagi,  sekarang tepat pukul 01.00 WIB. Dan alunan gamelan Jawa yang syahdu kini berdesing padu dengan hatiku. Lucu, berniat tak ingin mengingat – ingat tentang rindu yang semakin menganggu. Sekarang malah harus menulis tentang pulang yang memang begitu kurindu.Tapi tak apa, toh menulis adalah seni pengabadian kan?

Kalau dihari – hari biasa aku sangat merindukan  pemilik mata teduh yang selalu menjejukkan, yaitu ibu. Namun ada yang sedikit berbeda sekarang.  Kali ini aku sangat merindukan sesosok pria kekar  yang selalu terlihat tenang. Pemilik mata sayup yang seolah selalu mengantuk, pemilik suara berat yang membuat orang sekelilingnya mengantuk, lembut. Bapakku.

Oh iya, Kemarin  malam aku baru saja berbincang dengan Bapak lewat telepon. Hanya sekitar tiga menit kurasa. Sebentar kah? Hihi bagiku itu sudah cukup untuk menjadi penawar rindu. Karena memang, bapak bukan orang yang suka berkata –kata. Beliau lebih suka mendengar perbincanganku dengan ibu dari frekuensi  gelombang suara yang di speaker ibu di telepon. Seperti aku. Akupun juga demikian,tak suka banyak bicara. Faktor keturunan, mungkin.

Sudah empat bulan aku tak melihat rupa ibu bapak. Disini aku hanya bisa menerka, seperti apa sekarang mereka. Bicara tentang pulang, aku ingin pulang, cepat pulang. Aku merasa sayap ini telah lelah. Namun berusaha mengerti, belum saatnya tuk melipat sayap dan kembali. Tidak , aku tak kesepian disini. Bagaimana bisa merasa sepi jika gamelan, pelog, slendro, gong dan alat musik jawa lainnya masih melengking di jam segini. Hanya saja, kemanapun kamu terbang, rumah adalah tempatnya hati untuk kembali kan? Sssssssssstt, jangan bilang  - bilang ibuku kalau jam segini aku masih diluar kosan ya! :’>

Dulu di jaman SMA, jika sudah lewat jam sepuluh malam aku belum pulang. Bapak akan menungguku di depan  pintu. Berdiri mematung atau dengan terdiam di kursi duduk. Bukan , bukan aku yang meminta beliau menunggu. Tentu aku cukup bernyali untuk melakukan apapun sendiri.  Cukup jangan matikan lampu dan jangan biarkan pintu terkunci saja cukup. Tapi namanya juga seorang bapak, mungkin naluri yang menyuruhnya menunggu, memastikan langsung kalau aku putri dodolnya masih bisa nyengir seperti biasa.

Kalau ditanya berapa sering bapak memarahiku, aku jawab belum pernah. Belum jika dibandingkan dengan ibuku yang setiap saat bisa memarahiku.
Kalau ditanya seberapa banyak pengetahuanku tentang Bapak, aku jawab hanya sedikit. Aku tak begitu tahu liku – liku Bapak saat muda dulu.
Kalau ditanya seperti apa Bapakku, aku jawab beliau Sederhana.
Kalau ditanya apa yang ingin kukatakan pada Bapak sekarang, aku jawab, 

 "Pak, yana kangen. Meski bapak nggak lagi di depan pintu dan menunggu, tapi aku ngerti. Dalam lelapnya Bapak, Bapak masih menunggu kepulangganku. Terimakasih untuk selalu setia menunggu Pak. Sehat selalu nggih Pak!" :’)

Komentar