First Love
Gerimis dari semalam belum juga berlalu. Kota kecilku ini memang tepat kusebut kota hujan. Biar sedang tidak membawa payung, tapi aku masih suka hujan. Air yang turun dari langit merupakan berkah dari Nya untuk menghidupkan segala kehidupan kan?
Masih dalam kebisuan
kupandangi langit biru yang keabuan. Entah kenapa langit kali ini terasa begitu
kosong, persis seperti hatiku. Aku mengaduh kecil ketika mulai terasa kebas di
kedua kakiku. Barangkali sudah terlalu lama aku berdiri di emperan toko jajanan
ini. Aku memang sedang sengaja berjalan menembus hujan, membiarkan sedikit
kulitku merasakan sensasi segarnya hujan. Tapi ternyata irisan angin malah membuatku menggigil, ditambah dengan tatapan dingin dari orang - orang yang makin membuatku membeku. Kini kubiarkan diriku hanya menikmati melihat manisnya
tetesan air yang berjatuhan.
Seketika aku terperangah
heran ketika kulihat sesosok laki - laki yang begitu ku kenal dalam
ingatan. Ia mengenakan kaos abu - abu dengan celana jins berwarna gelap.
Dengan wajah kaku dan napas agak terengah - engah ia berjalan mendekat.
Dengan jarak yang hanya
beberapa langkah saja dariku, ia berhenti melangkah. Kami berdua terdiam,
saling menatap dan tersenyum bersamaan. Seperti dulu, bibir merah jambunya
selalu membentuk lengkungan hangat, sehangat matahari.
"Ternyata itu benar
kau ri, hampir saja aku tak mengenalimu!" pekikku masih dengan tatapan tak
percaya.
Seseorang yang kupanggil
ri hanya tersenyum kecil. Kini dengan lembut ia menyalurkan jaket coklatnya
padaku yang sedang memeluk tubuhku sendiri. Jariku bisa merasakan tangannya
yang dingin saat jari - jari kami bersentuhan, namun tak saling bertaut. Dengan
sigap ia membantu memakaikan jaket hoodie nya padaku. Aku tersenyum tersipu -
sipu.
Mungkin cuaca yang tiba
- tiba berubah menjadi lebih hangat atau mungkin efek dari jaket tebal yang
baru saja kukenakan, atau mungkin juga karena perlakukan manisnya padaku, dadaku
jadi terasa begitu hangat.
"Kapan kau
pulang?" tanyaku.
"Baru saja..."
jawabnya sambil menatap berani mataku dengan tajam.
Masa lalu kini seolah
tersibak di hadapanku. Bagiku matanya adalah sebuah keajaiban. Saat aku
melihatnya ada begitu banyak perasaan yang tak bisa kujelaskan. Rasanya benar -
benar janggal, aku tak begitu nyaman saat dia tiba - tiba datang, tapi terasa
begitu kosong saat dia harus pergi. Buru - buru aku mengalihkan
pandangan.
"Kau ini benar - benar, sudah tahu masih hujan. Kenapa kau tak pernah belajar membawa payungmu?!" hardiknya datar.
Aku malah terkekeh. Saat
marahpun dia memang selalu menggemaskan. Entah kenapa.
"Ayo, pulang!"
Undangnya padaku untuk berlindung bersama di bawah payung kuning lebarnya.
Ragu - ragu aku
mengangguk pelan. Lalu dengan perlahan kami berjalan beriringan menyusuri area
pertokoan. Dalam diam aku mencuri pandang kearahnya. Laki - laki yang
kukenal kini sudah menjadi Pria matang. Waktu bergulir seperti dongeng saja.
"Apa tidak apa
kalau kupilih rute jalan yang lebih panjang?" tanyanya padaku membuyarkan
lamunan.
“Eh?? Ah…boleh” pekikku.
Hatiku tiba – tiba jadi
berdebar. Sepanjang apapun jalan yang akan kami lewati, aku pasti akan tetap
betah jika itu berjalan bersamanya. Senyum dibibir dan mata binarku kini
tak lagi bisa kusembunyikan. Seandainya saja dia bisa membaca mataku. Dia akan
tahu, kali ini pun dia telah berhasil membuatku jatuh cinta padanya untuk
kesekian kalinya.
Sambil berjalan tak
banyak hal yang kami bicarakan. Hanya perbincangan monoton yang kami sendiri
sudah tahu apa jawabannya. Kalau diingat - ingat rasanya lucu, dulu kami
saling bertukar memori. Sambil menatap biru laut dengan ditemani jus kaleng
yang belum habis, kami saling menyandarkan bahu untuk membicarakan mimpi.
Kemudian sembari menunggu matahari mengantuk kami saling bergurau untuk hal -
hal sepele. Ternyata sampai sekarangpun kami masih seperti bocah, hanya saja
terjebak dalam tubuh orang dewasa.
"Kau tahu, aku
merindukanmu" bisiknya memecah suara rintik hujan.
Bagai disambar pelangi aku menggulum senyum
mendengarnya. Di setiap sudut kota ini mempunyai cerita tentang kami sejak kami
masih belia. Seperti ombak yang selalu merindukan bibir pantai. Tak seharipun aku jadi tak merindukannya.
'Ah, tapi apa yang kuharapkan? Rinduku dan rindunya sudah pasti berbeda. Aku ini perempuan yang membosankan dan sudah pasti terlalu biasa di matanya. Berbeda jauh dengan perempuan - perempuan di kota metropolitan tempatnya merantau. Mereka pasti cantik - cantik dan menawan. Biar seberapa suka padanya, aku tak ingin melewati batas. Bisa bertemu dan dekat seperti sekarang ini dengannya saja aku sudah bersyukur' Pikirku sembari berkaca pada genangan air hujan.
Kini langkah kami masuk
ke dalam gang - gang sempit yang membungkus keramaian. Ramai oleh anak - anak
kecil yang sedang berlarian di bawah hujan. Sekarang mata kami tertuju
memperhatikan gelak tawa anak - anak itu.
Lagi aku mencuri pandang kearahnya yang sejak tadi tak beranjak dari menatap
bocah - bocah itu. Kedua alisnya kulihat mengkerut seolah ada sesuatu yang
sedang ia pikirkan.
O aku tahu, terlepas
dari apa yang sedang ia usahakan disana, ia telah berjuang dengan keras. Dari
dulu ia memang kelewat pekerja keras.
"Kau sudah berhasil sampai sejauh ini ri. Kau bisa berhenti sekarang. Jadi tenanglah seperti kota ini, tak perlu kemana - mana lagi. Kau pasti lelah.. " hardikku padanya.
Dia tertawa.
"Emma, apa yang kau
pikirkan? Semua ini memang melelahkan, tapi memang aku ingin bisa merangkul dan
membahagiakan orang - orang yang kukasihi dengan kedua tangan, jadi aku baik -
baik saja!" sahutnya sambil tertawa.
Aku tersentak diam.
Sejurus kemudian aku ikut tersenyum bersamanya.
'Oh iya, dia ini memang orang yang paling spesial. Pantas saja aku mencintainya dan tak bisa menyerah. Dia seseorang yang rela terluka untuk melindungi orang - orang yang ia kasihi. Seseorang yang tulus sekaligus bodoh. Begitu mengangumkan..'
Kuberanikan diriku
menatap mata bulan sabitnya, mungkin ini kali pertama dan untuk terakhir
kalinya.
"Apa ada sesuatu
yang ingin kau katakan?" tanyanya bingung.
Aku menggeleng mantap.
"Dari dulu kita
suka berlari menerobos hujan kan? Bagaimana kalau kita berlari bersama?!"
ajakku.
Ia terdiam bingung lalu
tersenyum tanda mengerti. Payung kuning lebarnya ia lipat dan ditinggalkan
di salah satu sudut bangunan.
Sejurus kemudian sambil
saling mengejek dan tertawa kami sudah berlarian di bawah hujan. Tak peduli
dengan tatapan aneh dari orang - orang.
"Aku berharap kelak
kau menjadi lelaki yang paling bahagia, wanita yang kau cintai, juga
mencintaimu sepenuh hatinya..." bisikku padanya.
Dia tersentak keheranan.
Dia tersentak keheranan.
Biarlah rahasia manis
ini akan kusimpan sendiri. Sebenarnya ingin kunyatakan perasaan ini walau hanya
sekali seumur hidup. Tapi sepertinya hal itu hanya akan menjadi beban baginya.
Hingga suatu saat nanti, mungkin dia juga menyimpan perasaan yang sama atau
mungkin saja akan kutemukan seseorang lain yang bisa kubagi untuk menanggung
perasaan ini. Entah dimana dan kapan, mungkin saja kan?
Luaaaar biasa masih ada yg update di 2018 ini teman2 bloggerku..
BalasHapusJejak dulu .Cuma mau nostalgia
eh ada bang uchaank hehe jadi malu, kuy bang uchank update blog lagi, aku masih setia jadi fans tulisan2 abang wkwk :p
Hapus