Reka Ulang

Di sore yang cerah ini, dia tiba - tiba saja mengajak kami pergi ke pantai. Katanya, ingin menunjukan laut biru pada kami. Ini memang pertama kalinya kami akan pergi ke pantai bertiga. Biasanya aku hanya menunjukan laut biru pada gadis kecil ku lewat gambar - gambar dari buku dongeng sebelum tidurnya.

Dialah suamiku, yang sekarang sedang mengendarai sepeda motor di depan sedang aku duduk di belakang memboncengnya.

Di belakang aku memeluk dia dengan erat. Buah hati kami, hilya duduk di depan. Bulan depan usia putriku sudah genap lima tahun. Meski samar - samar aku bisa mendengar celotehan si kecil hilya dengan ayahnya. Gadis kecil ku ini memang suka sekali bercerita. Apalagi jika hatinya sedang senang begini, dia jadi makin tak bisa berhenti mengoceh. Berisik dan bandel. Tapi juga sangat penyayang. Mirip betul dengan dia, ayahnya.

Dia melambatkan laju motornya ketika melewati area yang rimbun di kanan kiri jalan yang sudah terbalut aspal rapi. Melihat dari papan penunjuk arah, kami sudah mendekati kawasan pantai. Syukurlah, nampaknya tak ramai pengunjung yang datang. Mungkin karena hari ini bukan hari libur atau akhir pekan.

Setiba di pantai yang kami tuju. Gadis kecil ku langsung menarik - narik tanganku untuk mengikuti langkah kecilnya. Sedang dia masih sibuk memarkir sepeda motornya.

"Ibu... ibu.. laut.." tunjuk putriku, sembari memanggilku dengan panggilan yang sangat kusuka.

Aku menengok kearah laut. Nampak hamparan air yang berwarna biru bening. Serta ada beberapa perahu - perahu kecil milik nelayan di tepian air.

"Sabar sayang, kita tunggu ayah sebentar yaa.." ujarku menenangkan sembari mengelus sebelah pipinya lembut. Gadis kecil ku menurut dengan mengangguk - angguk.

"Ayah.. ayah...cepat.." pangil putriku, memanggil dia dengan panggilan yang sangat kusukai juga.

Dia lalu tersenyum gemas melihat anak gadisnya yang nampak begitu antusias. Sambil berceloteh hilya lalu menarik tangannya untuk berjalan mengikuti. Dan tanpa canggung aku mengandeng lengannya.


*******

Matahari hampir tergelincir dan separuh langit tampak berwarna seperti lemon.

Sambil menikmati hembusan angin, aku terduduk di bawah pohon palem yang tumbuh berjejer di tepi pantai. Dari kejauhan aku mengamati mereka berdua yang sedang bercanda dengan debur ombak yang menggulung. Gadis kecil ku tampak takut ketika ada ombak beringas yang tiba - tiba datang. Sambil tertawa dia dengan sigap mengangkat hilya ke dalam hangat pelukannya.

Aku menarik ujung bibirku tipis. Kurasa tak ada yang paling membuatku bahagia, melihat orang - orang yang kusayang sedang tertawa bahagia.

Entah kenapa tiba - tiba aku jadi teringat kejadian masa lalu.

Barangkali waktu memang bergerak terburu - buru saat kami sedang bersama, ya?

Dulu aku pernah kesini, tentu dengan dia. Tepatnya selang beberapa hari setelah kami menikah. Waktu itu kami belum punya cukup uang untuk berpergian jauh. Jadi kami hanya pergi ke daerah wisata lokal.

Sore itu, kami sempat kecewa karena pantai ini ternyata tidak menghadap ke arah matahari terbenam. Kami jadi tak bisa melihat pemandangan sunset bersama. Tapi ada keindahan lain yang tersimpan di pantai ini. Mungkin karena belum banyak orang yang mengenal keindahan pantai ini. Sehingga pantai ini masih begitu sepi pengunjung. Kami jadi dapat menikmati pantai yang serasa milik pribadi. Duduk berdua di bibir pantai dengan debaran jantung yang seolah tak mau kalah dengan deburan ombak. Lalu dia membisikan kata - kata mesra dan sambil tersenyum malu aku mencubit nya dengan pelan. Hmm.. namanya juga masih di awal - awal menikah, ya?

Aku tersenyum sendiri seolah sedang melihat kejadian lucu kala itu.

Tahu - tahu saja pernikahanku ini sudah berjalan belasan tahun sekarang.

Iya, kami berdua sudah tua sekarang. Anakku sudah ada tiga. Dan hilya adalah anak bungsuku. Kedua abangnya sedang menimba ilmu di kota orang. Sudah banyak hal yang terjadi di dalam rumah tangga kami. Dia tak sempurna, akupun sama. Tentu saja tidak apa, karena kami memang hanyalah manusia biasa. Hingga sekarang kami sudah sampai di titik ini. Berdua menghadapi hidup yang getir dengan tawa.

Aku tersadar dari lamunan ketika kurasakan sepasang tangan mungil yang sedang berusaha menarik tanganku. Ternyata itu putriku yang entah sejak kapan sudah berdiri di sebelahku.

Sambil tersenyum manis putriku menarik tanganku untuk bangkit dan mengikuti langkah kaki kecilnya yang mengarah ke bibir pantai. Aku menurut saja.

Disana rupanya putriku ingin menunjukan hasil karyanya padaku. Ia telah berhasil membentuk suatu istana sederhana dengan pasir. Aku berdecak kagum. Kini gadis kecilku jadi makin bersemangat membentuk suatu karya lain.

Aku kemudian terduduk di bibir pantai, tepatnya di sebelah dia yang sudah sejak tadi duduk mengawasi kami. Seperti biasa, dia menatapku dengan sepasang mata teduh yang selalu dapat menenangkanku. Perlahan aku bersandar di bahunya. Tiba - tiba saja dia membisikkan sebuah kata di telingaku. Aku terkejut bukan kepalang. Ternyata dia juga masih mengingat kejadian waktu itu. Aku tertawa sembari mencubitnya pelan. Sejurus kemudian kami tertawa bersama.

Kupikir tak banyak yang berubah dengan pantai ini. Mungkin kami lah yang sudah banyak berubah. Bukan hanya berubah dari fisik yang semakin menua. Tetapi berubah kepada hal - hal yang lebih baik tentunya.

Selang beberapa waktu hilya datang dengan berlari dan memelukku. Dengan penuh kehangatan, aku mendekapnya di pangkuanku.

"Ah, seandainya dua jagoan kita ada di sini ya?" keluhku padanya.

Dia mengangguk setuju sembari mengenggam sebelah tanganku.

Langit sore tampak makin memerah. Debur ombak makin beringas menghempas. Rasanya seperti de javu. O mungkin semesta sedang terbakar api cemburu kepadaku. Persis seperti kala itu.


Notes:
Hilya bermakna perhiasan, nama ini tercantum dalam Qs. An Nahl ayat 14.
Dan, sebenar - benar perhiasan dunia adalah wanita shaliha :') 

Komentar