Peragu

Aku memang sudah terperangkap. Di dalam ruangan yang hanya memiliki satu daun pintu dan jendela. Pintu itu berukuran sedang. Menjadi satu - satunya jalan yang bisa menghubungkan ku dengan dunia luar.

Di pinggir jendela aku hanya duduk bosan bersama waktu. Menikmati hembusan angin saat memasuki ruangan. Menopang daguku dengan telapak tangan. Menunggu entah apa.

Kadang ada yang mencoba mengetuk pintu itu. Seringkali aku pura - pura tak menyadarinya. Hanya tergoda untuk mengintip dari dalam tanpa berani menanyakan maksud kedatangan. Entah kenapa aku selalu ragu lalu hanya diam mengabaikan.

Pasti menyenangkan jika tak perlu menunggu lagi. Aku sendiri mulai lelah. Menunggu terbebas dari semua ini. Tapi lagi - lagi karena aku begitu peragu.

Tiba - tiba aku mendengar suara langkah kaki yang berjalan mendekat. Aku terdiam dengan hati yang penuh tanda tanya.

Cukup lama seseorang itu hanya berdiri mematung di balik pintu. Tidak mengetuk atau mengucapkan salam. Aku bergegas berdiri. Mengintip di sela - sela pintunya. Di sana nampak seorang laki - laki tampan berkacamata.

Ah, aku mengenalnya. Sangat akrab dulu. Hingga sekarang masih kusimpan suara tawa dan pertengkaran - pertengkaran kecil kami saat sedang bersama. Semakin mengenal seseorang perlahan aku jadi tahu setiap lukanya. Tanpa dia sadari dari dulu aku begitu bersimpati padanya.

Mungkinkah dia sudah berani mengetuknya? Dulu dia pernah tak sengaja berucap, kelak ia ingin datang menjemput ku. Waktu itu aku hanya bisa tertawa.

Aku terdiam kecewa. Lalu kembali ke tempat duduk ku yang semula. Memang ada begitu banyak orang baik di luar sana. Tapi aku malah mendapati hatiku semakin abstrak saja. Iya, dia bukanlah seseorang yang sedang ku tunggu.

Sejujurnya aku memang masih ragu dengan seseorang yang sedang ku tunggu. Aku menggali lubang di dalam ingatanku. Mencoba mengubur semua harapan - harapan ku pada laki - laki itu. Aku tak ingin merisaukan dia lebih dari kerisauan yang kurasakan sekarang. Aku sudah berhenti berharap tapi terus saja menunggu.

Mungkin semua ini bukan hanya soal keberanian. Memandangnya dari kejauhan, aku merasa seperti berkaca. Rasanya seperti rumah. Entah kenapa, untuk pertama kalinya aku ingin dia tahu semuanya tentang diriku, padanya mencoba percaya melawan rasa takut dan asumsiku sendiri. Mungkin dialah orangnya.. Ya kan?

Aku percaya, menunggu bukanlah hal bodoh dan sia - sia. Dari penantian ini aku dapat belajar banyak hal. Tentang rasa setia, kejujuran pada diri sendiri, ke ikhlasan pada apa yang akan terjadi di depan dan terakhir tentang kesabaran.

Komentar